Senin, 19 Oktober 2015

   Rantau, suatu tempat yang kurang lebih sama dengan antah berantah. Suatu tempat yang belum dikenal, yang pasti jauh dari apa pun yang kita kenal dan rasakan di tempat asal. Kita pun tak tahu, apakah akan lebih enak jadinya, atau malah jadi menderita dan tambah sengsara. Meski begitu, perantau berani mengadu nasib untuk bertolak ke tempat yang jauh itu. Begitu juga saya, yang memutuskan untuk merantau sejak 5 tahun yang lalu, tepatnya saat saya mulai duduk di bangku SMA. Keinginan untuk dapat hidup lebih baik mendorong langkah saya ke negeri rantau
Banyak hal dilalui di negeri rantau, memberi pelajaran hidup yang tak akan didapat jika hanya berdiam di rumah sendiri.

   Saya lahir di desa yang kecil, dimana semua fasilitas sangatlah minim, apalagi pendidikan. Pikiran para penghuni desa juga sangat sederhana, sesederhana hidupnya yang hanya bertani dan berternak. Pendidikan dasar bagi mereka sekaligus menjadi pendidikan akhir, karena setelah SMP, mereka memilih untuk bekerja, mencari uang sebanyak-banyaknya adalah tujuan mereka . Pendidikan tinggi bagi kebanyakan penduduk desa hanya membuang uang, itu diyakini kebanyakan penduduk bahkan yang kaya sekali pun. Mereka tak sadar, pendidikan mengantarkan kita pada ilmu yang menambah kekayaan jiwa, sebuah investasi yang tak bisa dibandingkan dengan uang berapa pun jumlahnya.
Tuhan bahkan menjanjikan kenaikan derajat orang yang menuntut ilmu di jalan-Nya.

  Kesadaran pentingnya menuntut ilmu yang juga dimilikiorang tua menguatkan niat saya bertolak ke kota rantau pertama, Cilacap Kota. Cilacap sebenarnya adalah kota kecil, kota pantai dengan teluknya yang berhadapan dengan sebuah pulau kecil, Nusakambangan. Kota yang tak terlalu besar, tapi bagi saya yang 100% anak desa, kota Cilacap pada pandangan pertama adalah kota yang ramai yang berfasilitas serba ada. 6 tahun menempuh bangku SMP dan SMA saya habiskan di kota bercahaya ini, 6 tahun yang cukup menempa saya menjadi lebih berani dan mandiri. Hingga bangku kuliah, masa yang saya harap akan dihabiskan di kota lain yang lebh besar, ternyata masih saya lalui di kota mendoan karena saya mendapat kesempatan mendapat 3 tahun kuliah gratis dari salah satu perusahaan di sana. Sembilan  tahun di Kota Cilacap membuat saya nyaman di kota kecil itu dan berharap akan bekerja di tempat yang sama.


  29 Juli 2015, tanggal yang bersejarah dalam hidup saya karena saya harus meninggalkan kota yang menjadi rumah kedua saya, yang berarti akan lebih menambah jarak saya dari tanah kelahiran. Bogor, kota hujan, menjadi tujuan perantauan. Keputusan perusahaan untuk mempekerjakan saya disana tak dapat saya tolak. Tuhan mungkin mengajakku berkelana lebih jauh untuk mendapatkan sesuatu yang belum bisa saya dapatkan sebelumnya.

  Meski merantau ke tempat yang lebih jauh, pengalaman merantau di masa remaja membekali saya untuk tetap tangguh. "Kota Hujan, aku pun rela berpeluh sebanyak bulir hujanmu, sungguh", adalah kata pertama yang saya tulis di diary saat pertama kali menginjakkan kali di kota hujan, Bogor. Berusaha untuk tetap optimis. Niat saya murnikan untuk semata bekerja.

  Pekerjaan pertama yang saya dapatkan adalah perencana perbaikan. Sebuah posisi yang cukup berat bagi saya. Sangat menyita waktu dan pikiran. Apalagi kalau saatnya perbaikan tahunan, saya bisa bekerja sampai jam 12 malam selama seminggu full, bahkan bisa lebih. Stress sering saya rasakan karena merasa tidak begitu kompeten di bidang pekerjaan tersebut.

  God's plan is the best plan. Sebuah kalimat ajaib yang selalu saya yakini. Tuhan menegur saya, ada proses yang membuat saya harus berpindah posisi menjadi seorang booker di departemen lain. Itu pun sangat perlu disyukuri karena ada sebagian lain yang bahkan harus melepas baju orangenya.
Saya masih beruntung, sangat beruntung malah, karena saya masih bisa bergaji tetap dan bisa melanjutkan kuliah saya.

Wong urip iku sawang sinawang, Memang betul peribahasa itu. Sekarang saya merasakan, posisi berat yang dulu saya emban ternyata sangat bagus ilmunya. Itu saya sadari saat mengikuti makul-makul selama perkuliahan. Dibandingkan posisi saya sekarang ini yang kebanyakan hanya mengerjakan pekerjaan administratif, yang pasti akan sama berapa pun lamanya saya bekerja. Kondisi yang sulit untuk bertumbuh. Hingga sekarang saya berpaham untuk menjadi kuli demi kuliah. Mungkin, di pekerjaan saya belum mendapat pupuk ilmu yang menyuburkan pemikiran saya, tapi saya masih bisa mendapatkannya di tempat lain, di kampus. Allah memberi kita usia untuk menjelajah dunia yang luas dan ilmu itu universal...Masih ada waktu dan kesempatan untuk menjadi lebih baik :)

Begitulah serba-serbi perantauan, kawah candradimuka untuk pengujian kepribadian...
Pembentuk mental anti cengeng dan booster kemandirian...




 




 



Sabtu, 17 Oktober 2015

.